Senin, 02 Oktober 2017

Mengingkari Kaidah Takdir Dari Tuhan (Part 1 dari 3)

2006 silam, saat kenaikan kelas di sekolah menengah atas (SMA), penentuan apakah akan menempuh pendidikan di jalur "science" ataukah "social". Jujur saat itu, hati berhasrat untuk menekuni pilihan pertama, "science". Dengan nilai Fisika yang diatas rata-rata (semester 1 83, semester 2 77), tentunya mudah menapaki jalur tersebut, semestinya...
Pada kenyataannya, ouch... Aku terdampar di kelas "social", ya benar S-O-C-I-A-L. Awalnya shock, di kelas paling terakhir dengan makhluk-makhluk yang bisa dibilang, "unik". 2 minggu di kelas tersebut, yang bisa membuat "sedikit" happy adalah bidang olahraga, ya bisa dibilang ke"unik"an kelas ini terletak disitu, hal itu yg membuat kelas tersebut bisa dibilang "ditakuti". Dari bidang akademik, ada 1 kata yang membuat aku frustasi selama 14 hari tersebut, "menghafal". Jangankan menghafal 1 halaman dan maju kedepan kelas, hafal 1 paragraf saja itu harus 1 minggu. Namun keajaiban datang dihari ke 15, ada pengumuman pertukaran pelajar (biar gaul dikit namanya), pertukaran antara "social" ke "science", dengan 1 kondisi adalah 1 tiket "science" untuk 2 tiket "social". Saat ada petugas datang untuk mendata banyaknya minat di kelas sosial paling ujung, aku mengangkat tangan paling tinggi diantara siswa-siswi lain.
2006+2 tahun. Kelulusan pun tiba, saat yang dinanti-nanti orang tua, "Anak aku dapet peringkat berapa ya? Dapet beasiswa apa tidak ya? Universitas yang menerima anakku apa ya?", itu adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak orang tua menjelang kelulusan anak-anaknya. Saat itu, kelulusan ujian masuk PTN favorit diumumkan di bulan April, Mei, serta Juli. April & Mei, aku tidak berhasil mendapati universitas idaman orang tua aku. Lalu dibulan Mei juga diumumkan pula hasil studi selama 3 tahun di SMA, hasilnya adalah aku lulus dengan nilai yang tidak menggembirakan bagi hati kedua orang tuaku. Harapan terakhir aku ada di bulan Juli, tekadku: "Aku tidak boleh membuat orang tuaku kecewa lagi". Dan saat pengumuman di awal bulan Juli datang, aku menelfon Bapakku ba'da isya dan diakhiri dengan "Ah..." lalu telefon terputus. Dengan resmi aku menyatakan diri sendiri sebagai sulung yang gagal.
Bersambung...

Tidak ada komentar: